Lorong-lorong Kotagede

Belum ada yang ingin ditulis selain tentang Kotagede. Sebagai penguat kenangan, jika suatu saat kutinggalkan.

Dari berbagai sumber disebutkan pada periode 1920-1930 Kotagede berkembang menjadi wilayah yang makmur. Kerajinan daerah ini dikenal dan dicari-cari tidak hanya oleh pribumi kaya, tapi juga kaum Eropa yang datang ke Jawa.

Seorang Indologie kelahiran Semarang, Hubertus Johannes van Mook, dalam artikelnya Koeta Gede, yang diterbitkan dalam Kolonial Tijschrift XV di Den Haag, pada 1926, Van Mook melukiskan Kotagede sebagai lorong-lorong yang sibuk. “…terdengar suara para perajin emas-perak, tembaga, tanduk, penyu, dan kulit,”

Van Mook menambahkan, “Lorong-lorongnya, terutama pada bagian kota sebelah barat di dekat pasar, memiliki sifat sangat elok. Lorong-lorong itu berkelak-kelok di antara deretan tembok setengah usang, sesekali terputus oleh gapura kecil atau relung, tempat pemilik warung bekerja di atas tikar anyaman bambu yang dibentangkan di tanah.”

Aku termasuk beruntung karena sempat menyelami suasana lorong-lorong Kotagede, meskipun mungkin berbeda jauh dengan yang dilukiskan oleh Van Mook. Selama Tahun 2018 – 2019 aku dan tim puskesmas bertugas dalam program PISPK, melakukan pendataan penyakit sekaligus pemeriksaan kesehatan dengan mendatangi langsung rumah warga.

Satu kali seminggu mengunjungi rumah warga dengan ditemani kader kesehatan dari RW dan RT setempat. Waktu itu aku bertugas sekitar 4 RT pada dua kelurahan. Tahun 2018 aku menyelesaikan 2 RT di Purbayan, Tahun 2019 juga menyelesaikan 2 RT di Prenggan. Masing-masing RT terdiri dari 30-50 kepala keluarga. Dengan jumlah anggota keluarga yang bervariasi, terbayang padatnya pemukiman ini. Teman-temanku yang lain juga mendapatkan tugas yang sama, pada RT yang berbeda dalam kelurahan yang sama.

Pada masa menyelesaikan tugas PISPK tersebutlah aku makin meresapi lorong-lorong dan rumah-rumah tua Kotagede. Ditemani Ibu kader, masuk ke rumah-rumah joglo yang bagiku adalah misteri. Jadi tahu penghuninya seperti apa, di dalamnya bagaimana. Program PISPK membantu aku menguak misteri tersebut. 😄

Terimakasih tentu saja untuk ibu kader yang setia menemani. Takkan aku berani mengetuk pintu-pintu tua nan anggun itu jika sendirian, karena ketukan dan salamku takkan kedengaran sampai dalam.

Ciri khas sebuah bangunan ndalem adalah mempunyai banyak pintu. Biasanya Bu kader blusukan dulu ke dalam lorong-lorong rumah untuk bisa menemukan tuan rumah, sedangkan aku menunggu di antara pendopo dan rumah utama sambil mengamati pemandangan di balik pintu.

Selain masuk ke rumah-rumah tua berpendopo indah, aku juga masuk memeriksa warga di rumah-rumah sederhana berukuran kecil yang banyak terdapat di sana. Istimewanya, meskipun kondisi cukup padat namun kebersihan tetap terjaga. Menurutku hal tersebut adalah salah satu yang membuat wisatawan senang menelusuri lorong di Kotagede. Meskipun sempit dan padat tapi lingkungan sekitarnya bersih juga tenang.

Parkir motor di tempat yang teduh, selesai pendataan sering lupa motor tadi parkir di mana 😆 Dua tipikal hunian di kotagede, rumah-rumah bilik bambu juga masih ada.

Pada pagi hari kebanyakan rumah-rumah tersebut kosong, karena anak-anak bersekolah dan orangtua mereka sudah berangkat bekerja. Yang tinggal di rumah saat pagi hari pada umumnya para lansia, karena balita pun biasanya dititipkan di PAUD. Jadi suasana pagi hari di lorong-lorong Kotagede itu sunyi damai.

cek sumur dan jamban juga

Ada beberapa rumah yang mengerjakan kerajinan, kutemui perajin perak, kulit, tembaga dan kuningan. Suara-suara peralatan dari rumah mereka sesekali memecah kesunyian. Dibandingkan tahun-tahun yang berlalu lama, kejayaan hasil kerajinan tersebut memang sudah menurun. Namun tetap ada yang terus menekuni usaha kerajinan logam dan kulit, sepertinya cukup bisa bertahan . Juga kutemui beberapa ibu yang mempunyai usaha jahitan dan kuliner seperti telur asin, aneka jajan pasar, dll.

teman-teman sedang menunaikan tugas Pispk

Lorong-lorong, terutama pada bagian kota sebelah barat di dekat pasar yang digambarkan Van Mook sebagai lorong yang elok, berkelak-kelok di antara deretan tembok setengah usang. Hari ini, lorongnya masih elok dan berkelak kelok, juga masih kutemui jendela-jendela tua nan cantik di kampung Alun-alun dan Jagalan. Deretan tembok yang membentuk lorong-lorong pernah roboh di beberapa bagian pada saat gempa besar tahun 2006 dan sudah diperbaiki kembali sehingga tingkat keusangannya tentu saja menjadi berkurang.

Ada rumah tua dan pendopo yang sudah tidak digunakan, kemungkinan karena kerusakan akibat gempa dan belum diperbaiki kembali. Tak dipungkiri beberapa bangunan pusaka sudah berpindah tangan, tidak lagi dimiliki oleh trah yang seharusnya. Kutemui beberapa rumah terlihat tak berpenghuni, kemungkinan besar sudah dimiliki oleh orang-orang kaya dari kota lain.

Dari cerita yang kudengar, sehabis gempa besar ada beberapa pemilik yang menjual rumah pusakanya karena tidak punya cukup dana untuk memperbaiki. Bantuan dari pemerintah tidak mencukupi. Pendopo dan rumah-rumah pusaka lalu dijual dengan harga yang murah.

selain lorong-lorong, yang menarik hati tentu saja jendela tua yang dibiarkan apa adanya 💚