Gangsal Setengah Tahun

Sampai hari ini, Jogja belumlah menjadi kenangan. Genap sudah 5 tahun 6 bulan aku meladang di negeri Mataram.

Saban waktu menjalani tapa di sungai Gajah Wong, Kali Code dan Kali Winongo. Aku rasa level kesaktianku sudah meningkat secara nyata, sudah saatnya menjalani tapa di negeri lain alias mutasi pulang kampung. Tapi apa daya ternyata dihadang sama mbah COVID-19. 

Sebagai uji kedigdayaan, saat ini diriku uji kesabaran dengan mbah covid-19 ini. Alhamdulillah, sudah banyak keringanan bagi kami petugas kesehatan. Warga di sekitar tempatku bertugas termasuk mudah diberi edukasi tentang wabah ini.

Cukup banyak bantuan APD yang datang, untuk petugas dan juga untuk warga. beberapa kali kami menerima sumbangan masker kain dari warga untuk dibagikan pada pasien yang belum menggunakan masker. Hebat!

Setengah Dekade

Mengenang awal kehidupanku di kota jogja, adaptasi yang tidak terlalu berat karena gaya hidup umumnya orang-orang di kota ini tidak jauh berbeda denganku. Di kantor adaptasi berjalan lancar, aku tidak merasa jadi orang baru.

Tidak ada yang terasa ganjil, kecuali aku sering tidak paham jika orang-orang mulai berbahasa jawa. Tapi itu tidak terlalu menjadi masalah bagiku yang sukanya sibuk sendiri. Jika tak paham pembicaraan yang berlangsung malah senang, tidak perlu dipikirkan lebih jauh.

Setengah dekade berlalu, Jogja di ingatanku terasa klasik. Aku kemana-mana menggunakan trans jogja, becak dan kadang ojek pangkalan.

Seperti pernah kuceritakan sejak 3 tahun lalu ojek/taksi online sudah merajai jalanan. Trans Jogja mendadak sepi, halte-halte kosong. Sampai sekarang makin sepi karena pandemi.

Nok Aiu, yang pertama kali menemaniku keliling dengan trans jogja.

Tentang kuliner, lima tahun waktu yang cukup panjang untuk aku bisa mencicipi ragam kudapan, masakan khas jogja. Mulai dari kipo, nasi thiwul, gudeg, brongkos, dll.

Angkringan, ada beberapa yang kusinggahi. Terutama angkringan dekat puskesmas, hampir tiap hari dihampiri sekedar jajan tempe kremes atau beli oseng kikil dan daun pepaya kesukaanku. 

Yogyakarta tanpa angkringan? terasa mencekam. Itulah yang kusaksikan akhir-akhir ini. Tak ada lagi yang duduk lesehan di trotoar sambil ngobrol. Salah satu teman pengusaha angkringan di malioboro pun sudah gulung tikar, entah sampai kapan.

Sepanjang 5 tahun ini, ragam kuliner jogja berkembang banyak sekali macamnya. Adanya layanan pesan antar online mempermudah untuk mencicipi makanan yang diinginkan.

Apalagi di masa pandemi begini, memang sebaiknya pemasaran dialihkan secara online. Bahkan jadah tempe mbah carik bisa pesan online, tanpa perlu repot ke Kaliurang sana.

Namun ada satu yang tak berhasil kutemui, Pak Joyoboyo yang legendaris.

Dulu Pak Umar Kayam cerita  bahwa pak Joyoboyo jualan keliling Bulaksumur, menjajakan penggeng eyem klaten dengan menggunakan tenong. 

PicsArt_02-23-07.12.39nona El, waktu pertama kali mengajakku ke Raminten. Foto hampir 6 tahun yang lalu.

Pintu dan Lorong Tua Kotagede

Ini pintu pertama yang aku ketuk di Kotagede. Pintu favorit karena penghuninya suka masak. Sop, tempe garit, rolade daun singkong, semua ada.

Sekitar setahunan bersama mb Fira dan umi di Kotagede, kemudian aku ditinggal mudik ke Salatiga setelah umi wisuda.

Pintu usang, lorong-lorong tua beserta gang sempit berlumut di Kotagede.

Kemarin itu sudah merasa nelangsa, bakal kehilangan nuansa kota tua ini dalam keseharianku kelak, tapi aku meyakini sekian waktu ke depan suasananya akan tetap begitu.

Semoga terawat semua yang telah usang, tua dan berlumut. Kotagede dan Jogjakarta, abadinya istimewa. 🧡💚

5 respons untuk ‘Gangsal Setengah Tahun

  1. Monda Siregar berkata:

    Nggak terasa ya udah cukup lama jadi wong Mataram,
    sabar ya ada masanya nanti balik kampung.
    Nkmati saja dulu nuansa Kotagede, bikin cerita untukku yang entah kapan bisa mblusuk ke setiap sudutnya

    • LJ berkata:

      Dari pertengahan maret kotagede sunyi, tak lagi ada yg blusukan, Kak.. hampir semua cagar budaya tutup, toko-toko perak makin mati suri, juga omah dhuwur dan sekar kedhaton sampai sekarang masih tutup.
      Tapi suasana pagi mulai hidup kembali selepas lebaran ini, pedagang menu sarapan pagi terlihat ramai mengisi trotoar sepanjang jl. Kemasan.

  2. prih berkata:

    Sudah lulus satu PELITA (penduduk lima tahun) yo Uni di Kotagede. Sudah paham arah bangjo wetan kulon lor kidul, petunjuk arah Yogya yang khas.
    Kungkum kali sudah tuntas, tinggal masalah waktu pas untuk Aur Kuniang yo Ibram.
    Semoga mbah Corona segera tertangani, Kotagede kembali semarak.

    • LJ berkata:

      Wkwkk.. sudah satu pelita ya oma.. masih saja gak hapal arah mata angin.. 😄
      Semoga Kotagede kembali bisa dikunjungi.. terutama oleh oma dan makwo.. 🧡

Tinggalkan komentar